Rabu, 01 April 2015

Karya Baru atau Basi di PARADANCE




Hafida Kholifatul Jannah, membawakan karya "Moksa" di PARADANCE #6. Foto oleh Ari Kusuma.
Meski kecil dan sederhana, panggung PARADANCE telah berjalan hingga 6 kali. Tidak dengan susah payah, tetapi dengan ceria dan apa adanya. Semuanya dilakukan dan dilakoni dengan kesadaran penuh atas kemampuan dan kemauan. Dari edisi awal yang rata-rata menampilkan 5 atau 6 nomor karya, kini sudah menjadi 8 karya pada edisi 5 dan juga edisi 6. Kami bisa mengatakan bahwa kami sementara ini termasuk berhasil, sebab dari semula memang acara ini digagas dan digulirkan sebagai ruang unjuk karya, bukan sebagai sebuah produk tontonan yang melulu diukur dari seberapa banyak dan histerisnya penonton. Karenanya, pada edisi 6 ini saya tiba-tiba memikirkan para penampil.

Tidak semua, tetapi hampir semua, para penampil adalah mahasiswa dan alumni Jurusan Seni Tari ISI Yogyakarta dan Jurusan Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta. Mereka semua mendapat bekal ketrampilan gerak tari. Puluhan atau ratusan ragam gerak tradisional yang diajarkan kampus, juga berbagai kosa gerak kontemporer hasil pengamatan dan pengalaman mereka di banyak panggung. Dengan kekayaan kosa gerak tersebut, mereka semua bisa dengan mudah memilah dan merangkai gerak-gerak untuk disinkronkan dengan tema dan musik yang mereka tentukan sendiri. Dengan potensi kekayaan itu pula, tampaknya membuat sebuah koreografi tari, apalagi yang ditarikan oleh diri mereka sendiri terasa sangat mudah. 

Di setiap edisi PARADANCE, MC selalu akan mengajak penari/koreografernya berbincang sebentar usai mereka beraksi, sembari menanti persiapan penampil berikutnya. Dan MC seringkali mengajukan pertanyaan, “Prosesnya berapa lama?” atau “persiapannya berapa lama?” atau “latihan berapa lama?”. Pertanyaan ini seringkali dijawab dengan senyum ceria oleh para penari. Jawabanya tentu bervariasi, namun saya terusik bahwa ternaya ada yang waktu persiapannya sangat pendek. Ada yang 2 minggu, ada yang 5 hari, bahkan ada yang menjawab “baru tadi malam latian”… 

Mendengar jawaban itu, biasanya MC akan berkomentar “wowwww?” atau semacamnya yang menunjukkan pujian (entah tulus atau tidak) dan tak jarang ditambah dengan mengajak penonton bertepuk tangan. Jawaban itu mungkin akan menunjukkan kesan “betapa kreatifnya” para penari ini. Mampu membuat sebuah rangkaian tarian yang unik dan indah hanya dalam semalam atau beberapa hari. Tentu saja, sebagai penari atau koreografer, kreatif bukan pilihan, tetapi kewajiban. Mereka mau tidak mau harus mau kreatif. Dan bagi PARADANCE, tentu sebuah kehormatan karena di acara inilah beberapa penari mempertunjukkan satu nomor karyanya untuk pertama kalinya. Ibarat sebuah karya film, di acara PARADANCElah mereka menggelar premier-nya. Kami, dan semua penonton sangat beruntung.

Akan tetapi, sering saya berpikir bagaimana jika sebuah karya, meski hanya sepanjang 4 atau 5 menit, dipersiapkan dalam waktu yang cukup lama, tentu hasilnya akan lebih matang. Lha wong yang semalam saja bagus kok. Kalo persiapan lebih lama, mungkin secara teknis akan lebih lancar dan tepat, dan segala hal non teknis seperti kesesuaian seluruh unsur gerak dengan judul dan tema akan bisa lebih maksimal kesatuannya. Saya membayangkan, akan ada para penyaji tari di PARADANCE yang menarikan sebuah karya yang sudah berulang kali ia tampilkan di panggung-panggung lain. Sebuah karya pendek yang indah dan matang. Tentu sah-sah saja. Sebagaimana grup musik juga akan membuat sebuah karya musik yang kemudian dimainkan terus menerus di berbagai kesempatan. Kreativitas tetap bisa ditunjukkan dengan aransemen baru. Ini sudah ditunjukkan oleh beberapa PARADANCER yang pernah tampil membawakan karya yang sama dengan yang mereka pertunjukkan dalam ujian praktik di kampusnya.

Pendeknya, tulisan saya ini hanya menyampaikan, bahwa sebagai penyelenggara, dan sekaligus penonton setia Paradance, saya sama sekali tidak akan kecewa apabila kelak ada penari yang menyajikan karya “basi”nya. Dan tentu saja, sangat terbuka bagi mereka yang pernah tampil di Paradance, kembali tampil di edisi mendatang, dengan karya yang sama yang di”aransemen ulang”. Semoga semua setuju, bahwa kreativitas tidak harus menciptakan sesuatu yang sepenuhnya baru, tetapi bisa juga dalam bentuk memoles yang lama menjadi lebih bagus. Pastinya bukan masalah baru atau basinya, tetapi lebih kepada matang atau mentahnya. Jika sebuah karya sudah lebih matang, tentu kita melakoninya dengan lebih mantap, lebih nikmat dan akan lebih monumental bagi diri kita sendiri dan penonton yang menjadi saksi.

Apa yang saya bicarakan itu adalah jika sebuah karya memang diniatkan sebagai karya tari yang "well made" atau dicipta dan ditata sedemikian rupa secara fixed and final. Lain halnya apabila ada yang mempertunjukan seni gerak dengan konsep "performance art" yang sering kali mengandalkan pola "here and now" dan mempertunjukkan spontanitas dan respon kondisi lingkungan. Mungkin begitu.
Selamat terus berkarya.

Ahmad Jalidu,
Penulis Naskah dan Sutradara.
Direktur GMT JOGJADRAMA
Produser PARADANCE.

Tidak ada komentar: