Kamis, 26 Maret 2015

Selalu Ada Alasan untuk Menari : Catatan 1 Tahun Paradance


: Catatan untuk 6 kali dan 1 Tahun PARADANCE.
Nia Agustina, menarikan karya berjudul "Dedes" pada PARADANCE #1, 29 Maret 2014. Foto oleh Sulistya Nucky. Dok. GMT JogjaDrama.

Bagi beberapa orang muda pecinta seni tari di Jogja, mungkin ada yang sudah tahu PARADANCE, dan tentu banyak juga yang belum tahu. PARADANCE adalah sebuah acara terbuka yang menyuguhkan pertunjukan karya tari oleh muda-mudi pecinta seni tari. Acara ini diselenggarakan setiap dua bulan sekali oleh komunitas bernama GMT JOGJADRAMA (dahulu Gamblank Musikal Teater) di Bale Budaya Samirono, Catur Tunggal, Depok, Sleman. 

Tulisan ini, saya buat dalam rangka menandai perjalanan waktu yang sudah mencapai 1 tahun sejak pertama kali saya dan sahabat-sahabat saya menyelenggarakan PARADANCE. Lewat tulisan ini pula saya akan menceritakan “mula bukaning” Paradance, beberapa hal yang menjadi tujuan dan yang melatarbelakanginya secara blak-blakan tanpa gengsi sedikitpun

Lebih dari satu tahun yang lalu…
Adalah Nia Agustina, teman dekat saya, perempuan muda yang hobi menari dan mengikuti kursus di beberapa sanggar tari. Nia juga termasuk anggota dari lingkaran komunitas Gamblank Musikal Teater (GMT), dan turut bermain dalam drama musical Nyanyian Rimbayana pada 2011 dan 2012. Pada akhir 2013, akibat dari kebanyakan nonton pertunjukan tari dan terlalu sering bergaul dengan guru-guru tarinya yang adalah mahasiswi ISI, Nia mengajukan usul kepada saya, untuk memproduksi pertunjukan tari dan ia ingin menjadi koreografernya. Tentu, sebagai ketua komunitas saya wajib mendukung. Akan tetapi, ketika itu, Nia juga baru saja memasuki masa kuliah S2 Jurusan Pendidikan Matematika yang bukan main banyak tugas kuliahnya. Lagipula, meski sudah beberapa kali berpentas baik sebagai penari latar dalam drama musikal produksi GMT maupun menari bersama sanggar tempatnya belajar, pengalamannya masih sebatas menjadi penari atas arahan koreografer. Singkatnya, saya meragukan kemampuannya membuat karya tari mandiri apalagi menggarap sebuah pertunjukan tari yang berdurasi lebih dari 30 menit. Saya usulkan agar ia membuat tari pendek berdurasi 2-5 menit dan penarinya adalah dia sendiri. Saya sanggupi untuk menghubungi kawan yang bergerak di bidang videography untuk menyotingnya dan menjadikan sebuah video tari yang akan diunggah di Youtube. Kepada Nia saya tambahkan kalimat impian bahwa “di Youtube kamu akan dilihat oleh ribuan orang dari seluruh penjuru dunia.” Dan dalam batin saya melanjutkan kalimat itu dengan “yen ana sing gelem ndelok.” Hingga beberapa waktu, janji tidak saya tepati meski ia terus mengejar. Tentu saja saya belum menepati karena ternyata untuk memproduksi sebuah tayangan video yang bagus (saya anggap seperti membuat video klip musik) ternyata cukup mahal. 

Ketika itu, saya juga aktif sebagai koordinator Forum Pencipta Lagu Muda Yogyakarta (FPLM) yang digagas dan disupport oleh Kedai Kebun Forum. Salah satu program FPLM adalah acara bulanan bernama FESTIVLA. Acara ini memberi kesempatan pada siapa saja orang muda Jogja dan sekitarnya yang punya karya lagu untuk tampil memainkan lagunya di hadapan sesama pecipta lagu lainya dan siapa saja yang bersedia datang. Nah, muncullah ide saya untuk mengadopsi konsep acara Festivla untuk memfasilitasi kegalauan Nia menari. Dengan begitu tidak hanya Nia, bahkan kami bisa memberi ruang baru untuk teman-teman lainnya yang barangkali seperti Nia, ingin sekali mencoba berkarya tetapi kesulitan mengatur acara pertunjukannya. Segeralah saya sampaikan hal ini kepadanya.

Dalam waktu singkat, Nia segera menghubungi teman-teman penari yang kebanyakan adalah mahasiswi tari ISI dan UNY dan menyampaikan kabar gembira ini… Sambil menunggu Nia mencari kawan penari yang bersedia tampil, saya mencari nama untuk program acara ini. Sebagai penduduk Jogja, saya tentu akrab dengan sistem pembentukan frase khas Jogja yaitu “Plesetan”, saya mulai mereka-reka berbagai kata yang berujung pada frasa Para Penari, menjadi Paranari, dan biar gaul, ditemukan juga dengan kata Dancer, Dance, lalu sim salabim jadilah nama PARADANCE. Jadi, PARADANCE secara mudah bisa diartikan suatu kumpulan tarian atau penari. Lalu Nia melanjutkan dengan membuat sebuah grup Facebook untuk wahana saling info bagi para pecinta tari yang kami berinama grup PARADANCER. Maka, tak lama kemudian terwujudlah parade tari kecil-kecilan, PARADANCE #1 diselenggarakan pada 29 Maret 2014. Nia yang awalnya ingin mencoba menjadi penata tari saja justru malah berperan ganda, menjadi penyaji karya tari merangkap menejer acara. 

Ketika itu, ada 6 tarian yang ditampilkan masing-masing oleh Mila Rosinta Totoatmodjo, Ayu Permatasari, Putri Wartawati, Hafizha Sabilla Azka, Nia Agustina, dan duet Raras Kusuma-Shinta. Pertunjukan digelar sederhana di pendopo Bale Budaya Samirono, dengan tata lampu hanya menggunakan 6 buah lampu Par 64 dan saklar ceklak-ceklek byar pet (bukan dimmer control sebagaimana tata lampu pertunjukan umumnya). Teman2 komunitas GMT yang tinggal segelintir, dibantu oleh pengurus Bale Budaya Samirono, dan beberapa anggota UNSTRAT UNY tanpa struktur kepanitiaan yang jelas, saling bantu menggelar acara ini. Para penari hanya mendapat satu bungkus nasi dan minuman air putih dalam kemasan. Tetapi, sejauh pengamatan saya, para penari menunjukkan semangat dan senyum puas yang tak terduga.

Nah, begitulah bagaimana Paradance ini lahir… Sangat personal, sederhana dan manusiawi serta begitu saja. Tanpa embel-embel cita-cita ndakik-ndakik soal kebudayaan dan atau penyemaian kreativitas pemuda di daerah istimewa. Namun, cita-cita dan klise ndakik-ndakik itu seringkali menyusul dari mulut kami terutama ketika ada wartawan datang meliput acara J. Mungkin karena grogi dan minder, di hadapan wartawan kami menjawab penuh klise ini dan itu. Segala macam alasan yang heroik dan nggombal. Padahal, bagi saya, alasan menyelenggarakan PARADANCE adalah untuk memfasilitasi agar Nia bisa pentas menari dan menyalurkan hobinya. So Sweet kan??? J. Toh kami yakin, bagi teman-teman peserta PARADANCE lainnya, ada banyak sekali alasan personal yang berbeda-beda yang melatarbelakangi keikutsertaan mereka. Ya, bagi pecinta tari, untuk tingkatan apapun, memang selalu ada alasan lain untuk menari. Dan saya bilang, apapun alasanya, silakan menari di sini.

Pada 29 Maret 2015 besok, akan digelar PARADANCE #6. Sudah satu tahun sejak kami mengawali panggung kecil ini. Sampai sekarang, belum ada hal yang heboh dan istimewa terjadi. Segalanya baik-baik saja dan nyaman-nyaman saja. Pergaulan kami memang terbatas. Apalagi saya bukanlah seorang penari dan tidak banyak mengenal para penari. Meski begitu, Alhamdulillah, melalui Nia (yang punya kenalan penari lebih banyak dari saya) datang berbagai saran dan dukungan. Banyak di antara saran-saran itu kami usahakan untuk terwujud. Tentu lebih banyak yang belum bisa kami jalankan. Salah satunya adalah beberapa kawan menyarankan agar PARADANCE dikhususkan untuk penari perempuan saja. Konon, di dunia tari, laki-laki dinilai lebih mampu “struggle” dibanding wanita, dan pada tingkat koreografer professional, dominasi laki-laki masih sangat kentara. Penari dan koreografer perempuan sangat perlu dukungan khusus. Hal ini juga disarankan sebagai upaya untuk membuat positioning yang jelas bagi Paradance untuk tetap eksis di tengah menjamurnya program-program acara pertunjukan di Jogja. Saya dan Nia segera membahasnya setiap kali ia baru bertemu seseorang dan mendapat banyak masukan. 

Sampai dengan edisi ke-6 dan insyaAllah seterusnya, PARADANCE akan tetap terbuka untuk segala jenis kelamin. Bukan kami tidak setuju dengan upaya mendukung seniwati tari. Tetapi bagi kami, justru dengan tidak mengkhususkannya, kami menganggap perempuan punya daya cipta yang setara dengan para penari pria. Jadi biarlah di acara ini, seniwati tari berdiri sama kerennya dengan para seniman tari. Mereka meraih kesempatan berekspresi, dan mendapat apresiasi bukan karena mereka perempuan, tetapi karena mereka manusia yang berkarya… (*cieeeee… kalimatkuuuhh… J) Jebul jumlah penari perempuan memang sudah mendominasi. Mungkin karena Jurusan tari ISI dan Jurusan Pendidikan Tari UNY lebih banyak mahasiswinya, dan sanggar-sanggar tari juga lebih banyak murid-murid perempuan. Dan jebulnya lagi, dari PARADANCE seri #1 hingga #6 yang akan datang, juga sudah didominasi oleh perempuan. Namun saya selalu meminta Nia untuk mencari setidaknya 1 penampil dari golongan pria di setiap edisi Paradance. Lebih juga boleh.

Selain bebas jenis kelamin, PARADANCE juga bebas usia dan latar pendidikan. Jikapun kami pernah beberapa kali menyebutkan sebagai “ajang karya penari muda”, memang itu sasaran utama. Tetapi tidak lantas kami menutup dari yang tidak muda. Pada Paradance #4 kalau tidak salah, ada penari anak-anak. Lho kok bisa? Ya, Dia adalah murid dari Scholastica W Pribadi, Scholastica W Pribadi adalah anak muda J. Pada Paradance #7 nanti, insyaAllah ada rombongan tari anak-anak dari Borobudur. Mereka adalah murid-murid dari mas Eko Sunyoto. Paradance juga terbuka bagi siapapun dari latar pendidikan non seni dan lintas jenis tarian. Boleh tradisi, boleh kreasi baru, apalagi kontemporer. Boleh tarian nusantara, boleh latin, ballet dan afro. Segala jenis seni berbasis gerak tubuh dibolehkan. Pada #1, ada Raras dan Shinta yang menarikan sebuah tari tradisi kerakyatan bergaya mbanyumasan, pada #4 ada tari latin dan #5 ada karya pantomime. Pokmen bebas tapi sopan.

Begitulah. PARADANCE sementara ini kami biarkan sebagai event tanpa positioning yang jelas. Satu-satunya positioning nya adalah ini sebuah acara pertunjukan tari (seni gerak tubuh), kalau bisa didominasi kaum muda, tetapi boleh pula remaja anak dan penari berumur. Bahkan, jika ada penari senior professional yang bersedia tampilpun, “kami welkam-welkam aja…”. Soal diferensiasinya bagaimana? Ya satu-satunya diferensiasi PARADANCE adalah tanpa Diferensiasi. Kelak, jika Tuhan merestui dan terlalu banyak seniman seniwati tari yang berminat tampil, mungkin saat itulah akan ada kebijakan baru yang membatasi. Sekarang ini, selagi belum ada alasan untuk membuat batas, maka kami tidak memberi batas bagi karya yang tampil. Meski demikian, secara teknis jelas sudah ada batas yang berasal dari kondisi alam. Misalnya, karena lokasi terbuka di tengah perkampungan, maka kami minta penari memakai kostum yang tidak terlalu vulgar dan tidak menyuguhkan tari erotis (sexy dance) dan batasan kondisi panggung yang sempit dan sederhana serta fasilitas yang minim.

PARADANCE sampai saat ini belum kami rencanakan untuk diajukan ke Dana Istimewa. Ini semata karena kemalasan kami mengurus ini dan itu. Kebutuhan teknis penari ditanggung oleh mereka sendiri. Sementara kami sebagai produser acara menanggung konsumsi dan sewa perlengkapan. Sedang teknis pendukung seperti dokumentasi berasal dari para relawan yang membantu. Di gambar publikasi PARADANCE #6 terpampang logo Penerbit Garudhawaca dan Gardabuku.com sebagai sponsor. Dua unit usaha kecil2an itu adalah usaha milik saya pribadi. Saya tampilkan di situ sebagai upaya untuk mengimbangi pengeluaran saja. InsyaAllah jika ada pihak lain yang bersedia membantu acara ini, boleh-boleh saja meminta logo usahanya dicantumkan di publikasi. 

Akhirnya, saya berterima kasih kepada semua kawan yang pernah dan masih dan (semoga) terus membantu terselenggaranya PARADANCE, terutama untuk sahabat-sahabat di komunitas Bale Budaya Samirono dan UNSTRAT. Juga saya haturkan salam dan doa sukses untuk para penari yang pernah tampil, dan para penyuka pertunjukan yang pernah dan akan hadir menonton. Salam hormat saya…


Ahmad Jalidu.        
Ketua GMT JOGJADRAMA.
Produser PARADANCE







Tidak ada komentar: