Kamis, 16 April 2009

EKPERIMEN PARAREALIS pada Mahabarata : Kiss Me Please

Dramatika paling benar adalah kehidupan nyata. Inilah basis dari eksplorasi yang kami sebut pararealis itu. Basis ini tidak ada bedanya dengan basis dari realisme konvensional sekalipun. Tetapi dalam praktiknya tentu saja berbeda. Realisme yang sudah dikenal adalah memotret satu scene / satu frame kejadian nyata dan diadaptasi ke atas panggung sehingga panggung berusaha mewujudkan set dan aksi sebagaimana kewajaran nyata. Namun seringkali realisme versi ini dilebihkan dan cenderung sempit serta “cengeng” (dalam kasus tertentu).

Pararealisme menyadari bahwa setiap orang memilki urusannya sendiri, dunianya sendiri yang kami sebut semesta individu. Semesta individu ini lebih banyak berjalan sendiri-sendiri meski sesekali saling menjalin dengan semsesta individu lainnya. Dari sinilah pola adegan diturunkan. Bahwa ketika seseorang melakukan atau mengalami sesuatu, seseorang lainnya juga sedang melakukan atau mengalami sesuatu yang lain. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dan tidak perlu disembunyikan.

Bagaimanapun, ini adalah pertunjukan yang memerlukan story, atau kisah sebagai tulang punggung. Panggung Mahabarata akan tetap menyajikan story itu, namun bukan berarti melenyapkan tokoh-tokoh yang sedang tidak berada di jalur utama story itu. Parallel dengan adegan sebagai story utama, panggung juga akan menunjukkan tokoh-tokoh lain yang sedang menjalani semesta individu mereka sendiri-sendiri. Ini seperti melakukan cropping terhadap masing-masing individu yang lalu di “paste” ke panggung. Yang nampak adalah sebuah adegan semi realis yang dikelilingi oleh adegan-adegan perorangan yang nampak tidak saling terkait. Adegan-adegan samping inilah wujud dari semesta individu. Jika dilihat per-individu, akan tampak sesuatu yang tidak aneh. Misalnya seseorang mengaji, yang lain berjualan, ada yang sedang makan, merokok, chating dsb. Meski karena diperlihatkan dalam jarak yang berdekatan dalam satu area pertunjukan, maka tampak menjadi tidak realis. Inilah yang kami sebut pararealis.

Pararealis bertolak belakang dengan realisme konvensional yang cenderung ingin mengilusi penonton agar larut dalam dramatika yang dibangun. Pararealis ingin mengatakan bahwa, tidak ada ketegangan, kesedihan, atau rasa terancam yang global. Segala emosi berada dalam wilayah semesta individu, atau paling-paling komunal. Secara universal, kehidupan itu selalu tampak biasa-biasa saja, atau sebaliknya, menjadi sangat memprihatinkan.

Tidak ada komentar: