|
Para penari dan koreografer penampil karya di Paradance #10. |
Pergelaran seni gerak dan tari bertajuk PARADANCE yang
diprakarsai Nia Agustina dan Ahmad
Jalidu dengan bendera GMT Jogjadrama, akan menginjak edisi ke-10 pada 25 Maret
2016 lalu. Acara rutin setiap dua bulan sekali ini telah dimulai pada Maret
2014 dan sudah mementaskan hampir 50
karya tari dan pantomime dari seniman-seniman muda di bidang gerak dan tari di
Yogyakarta.
Meski acara diformat sederhana, antusiasme peserta yang terus ada menandakan
bahwa program ini memang dibutuhkan utamanya bagi para koreografer muda yang
hendak mempresentasikan karya-karya pendek di hadapan public. Tak hanya itu,
acara ini juga sudah mulai dilirik oleh pihak-pihak di luar JOgja.
Sebagai bukti, acara ini telah membuat penasaran seorang
dedengkot seni tari nasional, Maria
Dharmaningsih, direktur Indonesia Dance
Festival sekaligus dosen di Jurusan tari Institut Kesenian Jakarta yang menyempatkan
diri datang menonton Paradance #9 pada Januari 2016 silam. Selain itu, pada
Paradance #10 yang lalu, satu dari 8 penampil yang siap adalah Raka Reynaldi,
seorang koreografer muda dari Bandung yang juga bekerja sebagai asisten dosen
di Jurusan Pendidikan Seni Tari di UPI Bandung.
Selain kedatangan Raka jauh-jauh dari Bandung, Paradance #10
nanti juga cukup kaya akan tema. Raka bersama 4 penarinya membawakan karya
tarinya berjudul “Nur” yang menyorot maraknya perekrutan gerakan-gerakan atau
organisasi apatis berbaju religi. Di kelompok lain ada juga kelompok tari dari
lingkungan berbasis religi yaitu Adab Dance Community, sebuah kelompok UKM
bidang tari di lingkungan Fakultas Adab dan Budaya UIN Sunan Kalijaga. Tentu
saja, ini menjadi sesuatu yang unik di Paradance karena para penari ADC
menggunakan kostum tari yang anggun mewah dan tetap syar’i.
Enam penampil lainya juga mewarnai Paradance #10 lebih
variatif lagi. Meski keenamnya adalah komunitas dan koreografer yang saat ini
tinggal di Yogya, namun mereka berlatar belakang etnis dan wilayah lain yang
tentu akan membuat karya mereka lebih unik. Sebut saja, Bagus Bang Sada, pemuda
Bali yang saat ini belajar tari di ISI Yogyakarta. Ada juga Nabilla Zainal yang
berasal dari Lampung dan sedang menempuh pendidikan pasca sarjana di Yogya.
Sementara Yessi Yoane dengan karya bersumber dari Yoga, Assabti Nur Hudan
dengan kreasi bergaya animal pop, serta duet Elisabeth Nila dan Etta Ayodya berhasil
menghebohkan penonton yang berdesakan dengan tarian extravaganza mulai dari
modern dance, latin hingga joget dangdut lengkap dengan iringan music dari
potongan lagu “Pokoke Njoged”. Mereka semua adalah koreografer muda Yogya yang
cukup aktif saat ini. Satu lagi yang unik dan tak pantas dilewatkan adalah
kehadiran komunitas Bodynesia, sebuah kelompok seni dari mahasiswa-mahasiswi
jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta. Mahasiswa etno menari? Ya, ternyata
mereka bisa dan tentu saja bagus. Memadukan seni gerak dari berbagai aksen tari
tradis Nusantara dengan seni acapela dan body percussion yang memukau.
Meski acara molor sekitar 45 menit karena cuaca hujan, namun
acara berjalan dengan lancan dan penonton berjubel di tengah dingginya malam.
*AJ
|
Penampilan komunitas Bodynesia |
|
Duet Elisabeth Nilla dan Etta Ayodya |
|
Raka Reynaldi, dan para penarinya dalam karya berjudul NUR |
|
Olah tubuh dari bentuk-bentuk dan filosifi Yoga, menjadi karya yang kontemplatif berjudul UOG(Y)A karya Yessi Yoanne. |