Selasa, 05 April 2016

PARADANCE #10 dilirik luar Jogja.




Para penari dan koreografer penampil karya di Paradance #10.
Pergelaran seni gerak dan tari bertajuk PARADANCE yang diprakarsai  Nia Agustina dan Ahmad Jalidu dengan bendera GMT Jogjadrama, akan menginjak edisi ke-10 pada 25 Maret 2016 lalu. Acara rutin setiap dua bulan sekali ini telah dimulai pada Maret 2014 dan sudah  mementaskan hampir 50 karya tari dan pantomime dari seniman-seniman muda di bidang gerak dan tari di Yogyakarta.

Meski acara diformat sederhana,  antusiasme peserta yang terus ada menandakan bahwa program ini memang dibutuhkan utamanya bagi para koreografer muda yang hendak mempresentasikan karya-karya pendek di hadapan public. Tak hanya itu, acara ini juga sudah mulai dilirik oleh pihak-pihak di luar JOgja.
Sebagai bukti, acara ini telah membuat penasaran seorang dedengkot seni tari nasional, Maria 
Dharmaningsih, direktur Indonesia Dance Festival sekaligus dosen di Jurusan tari Institut Kesenian Jakarta yang menyempatkan diri datang menonton Paradance #9 pada Januari 2016 silam. Selain itu, pada Paradance #10 yang lalu, satu dari 8 penampil yang siap adalah Raka Reynaldi, seorang koreografer muda dari Bandung yang juga bekerja sebagai asisten dosen di Jurusan Pendidikan Seni Tari di UPI Bandung. 
Selain kedatangan Raka jauh-jauh dari Bandung, Paradance #10 nanti juga cukup kaya akan tema. Raka bersama 4 penarinya membawakan karya tarinya berjudul “Nur” yang menyorot maraknya perekrutan gerakan-gerakan atau organisasi apatis berbaju religi. Di kelompok lain ada juga kelompok tari dari lingkungan berbasis religi yaitu Adab Dance Community, sebuah kelompok UKM bidang tari di lingkungan Fakultas Adab dan Budaya UIN Sunan Kalijaga. Tentu saja, ini menjadi sesuatu yang unik di Paradance karena para penari ADC menggunakan kostum tari yang anggun mewah dan tetap syar’i. 

Enam penampil lainya juga mewarnai Paradance #10 lebih variatif lagi. Meski keenamnya adalah komunitas dan koreografer yang saat ini tinggal di Yogya, namun mereka berlatar belakang etnis dan wilayah lain yang tentu akan membuat karya mereka lebih unik. Sebut saja, Bagus Bang Sada, pemuda Bali yang saat ini belajar tari di ISI Yogyakarta. Ada juga Nabilla Zainal yang berasal dari Lampung dan sedang menempuh pendidikan pasca sarjana di Yogya. Sementara Yessi Yoane dengan karya bersumber dari Yoga, Assabti Nur Hudan dengan kreasi bergaya animal pop, serta duet Elisabeth Nila dan Etta Ayodya berhasil menghebohkan penonton yang berdesakan dengan tarian extravaganza mulai dari modern dance, latin hingga joget dangdut lengkap dengan iringan music dari potongan lagu “Pokoke Njoged”. Mereka semua adalah koreografer muda Yogya yang cukup aktif saat ini. Satu lagi yang unik dan tak pantas dilewatkan adalah kehadiran komunitas Bodynesia, sebuah kelompok seni dari mahasiswa-mahasiswi jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta. Mahasiswa etno menari? Ya, ternyata mereka bisa dan tentu saja bagus. Memadukan seni gerak dari berbagai aksen tari tradis Nusantara dengan seni acapela dan body percussion yang memukau.
Meski acara molor sekitar 45 menit karena cuaca hujan, namun acara berjalan dengan lancan dan penonton berjubel di tengah dingginya malam. *AJ

Penampilan komunitas Bodynesia

Duet Elisabeth Nilla dan Etta Ayodya

Raka Reynaldi, dan para penarinya dalam karya berjudul NUR

Olah tubuh dari bentuk-bentuk dan filosifi Yoga, menjadi karya yang kontemplatif berjudul UOG(Y)A karya Yessi Yoanne.




Tidak ada komentar: