Minggu, 06 April 2008

CANGKANG #1; RELATIVITAS, PARADOKS DAN LAIN-LAINNYA ...


(Sebuah Tinjauan dari Naskah : Cangkang #1)

* Agung Wijaya

a. Mengapa CANGKANG...??; Sebuah Pandangan Pertama...
Istilah cangkang, pada dasarnya merupakan suatu terminologi biologis yang merujuk pada/sebagai penentu determinasi-dentifikasi hewan avertebrata golongan moluska (hewan lunak), yang dapat kita temukan di antaranya pada keong, bekicot dan keluarganya. Jika kita identifikasi, cangkang hewan-hewan ini memliki kekhasan pada struktur dan warna bagi tiap spesies. Strukturnya merupakan bahan kitin, suatu substrat derivat polisakarida seperti halnya kulit telur. Yang menarik, jika kita benar-benar perhatian, struktur ini ternyata menunjukkan fenomena menakjubkan, yaitu bentuk ulir yang berbeda-beda pada hal besar/ukuran, arah ulir dan warna untuk setiap ‘suku’ keong. Fenomena ini, lagi-lagi jika sangat perhatian, merupakan kunci determinasi bagi kita untuk bisa mengenal lebih jauh keberadaan hewan-hewan itu, tentang jenis kelamin atau usia, misalnya. Artinya, cangkang sebenarnya memiliki kedudukan struktur-fungsi yang sangat lebih berarti dari sekadar ‘rumah’ bagi keluarga siput tersebut. Lebih dari itu, fenomena biologis ini merupakan suatu bentuk nilai-alamiah universal (nature-values) yang juga memberi makna bagi dimensi kehidupan yang lain,terutama bagi manusia.

Secara sosio-kultural (budaya), cangkang bisa saja berarti bungkus, baju, kulit, atau sampul, yang melekat dan menjadi kunci determinasi-identitas tiap manusia. Yang perlu kita pahami, arti-arti di atas jangan lantas dibatasi maknanya pada hal-hal fisik-material saja, tetapi merupakan satu kesatuan gejala fenotip (yang dapat diindera) pada diri tiap individu. Misal, jika kita mengidentifikasi seseorang yang tubuhnya tinggi besar, tambun, berkulit gelap, wajah bulat lucu sedkit kusam, rambut gondrong yang kerap kucel, sifat (masih sedikit?) kekanak-kanakan, suka makan (apalagi saat stres!), maka (mungkin) kita dengan cepat dapat mendeterminasinya sebagai Nucky Bom-bom (Pemain Bass, Drum dan Perkusi GMT). Ukuran tubuh, warna kulit, wajah, rambut, tindak-tanduk perilaku, merupakan cangkang bagi putera sulung Budi Sulistyo tersebut yang dikenal oleh lingkungannya.

Kedua makna-kedudukan struktur-fungsi cangkang baik secara biologis maupun sosio-kultural di atas, bermuara pada satu identifikasi-determinasi lain yang menjadi ordinat keduanya, yaitu ikhwal IDENTITAS.

b. Identitas & Relativitas Simbol-Simbol
Identitas, sebagai bentuk konsekuensi penginderaan atas sesuatu, dibentuk atas simbol-simbol yang melekat pada sesuatu itu. Seperti cangkang tadi misal, bersama struktur tubuh si keong yang lunak dan mata-antenanya, merupakan simbol identitas baju/kulit/rumah bagi keong. Secara naluriah-instingtif, keluarga siput memahami makna cangkangnya sendiri sebagai kesatuan fungsional kehidupannya; yaitu sebagai tempat perlindungan organ-organ dalam, tempat berlindung, sekaligus candra identitas spesifik. Di sini, makna simbol ini secara alamiah dibentuk sendiri oleh si empunya cangkang, keong, yang lantas diidentifikasi-interpretasi oleh pihak lain. Artinya, makna simbol cangkang itu merupakan sesuatu yang otonom bagi si empunya, bukan oleh pihak lain.

Ketika simbol-simbol identitas sampai pada ranah komunitas sosial manusia, maka makna identitas cenderung menjadi berbalik. Bukan lagi sebagai sesuatu yang otonom-personal, tetapi justru menjadi hak komunal sosial. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa kebanyakan identitas individu lebih banyak dibentuk oleh determinasi-identifikasi orang lain, bukan oleh si diri-individu itu. Indikatornya; coba kita ukur, cepat mana kala kita mengidentifikasi-diskripsi orang lain dibanding diri sendiri? Lantas, seberapa detil dan PD kita mau-bisa mengidentifikasi diri sendiri? Meski, sekali lagi, ini merupakan kecenderungan (dominan) dan tidak berlaku general.

Pandangan di atas berujung pada makna ordinat (lain), yaitu RELATIVITAS makna simbol-simbol identitas individu. Artinya, seseorang akan dikenal secara berbeda ketika orang itu diidentifikasi oleh banyak orang, yang jelas memiliki persepsi identifikasi berbeda-beda. Meski simbol-simbol itu real-stated, relativitas ini memberi konsekuensi pada pilihan obyektivitas-subyektivitas identifikasi. Ini yang tampak pada kalimat/dialog Yan-Rista pada babak ke-2. Implikasinya, mengapa dalam mengungkapkan perasaan cinta, harus laki-laki dulu dan bukan perempuan??

Naskah ini mencoba meretas benang merah makna identitas jantan-betina, laki-perempuan. Mengapa ini yang dipilih?? Hipotesis yang dimunculkan adalah bahwa secara sosiokultur, kedudukan-fungsi-daya guna dinamika masyarakat kini lebih banyak didasar-kan dikotomi-identifikasi laki-laki-perempuan, jantan-betina. Sebagai penguat, dalam kajian biologis, identifikasi jantan-betina ini benar-benar menjadi base-view bagi kajian anatomi-fisiologis. Hal serupa bisa kita lihat juga dalam kajian psikologis. Base-view ini berujung pada konsekuensi lain, yaitu pilihan obyektivitas-subyektivitas ini membawa kita pada pusara pertaruhan pilihan identitas dengan segala konsekuensi manfaat-risikonya, termasuk nilai, makna atau kedudukan. Pertaruhan ini yang tersirat-tersurat pada babak ke-1, kata/kalimat Anggi pada babak ke-3.

c. Identitas, Paradoks & (Politik) Kekuasaan
Dinamika kehidupan sehari-hari kadang menghadapkan kita pada hal-hal yang kerap memberi variasi warna hidup. Variasi ini bisa saja berupa hal-hal yang tidak diharap-kan, hal-hal yang lucu/menggelikan, dilematis, atau apapun. Inilah PARADOKS!!

Paradoks (kerap) timbul sebagai akibat dari proses interaksi identitas jantan-betina, laki-perempuan. Ketika simbol-simbol identitas begitu dominan terkuak, maka determinasi makna, fungsi atau kedudukan kedua identitas yang antagonis itu menjadi sangat kental. Di sinilah hal yang sangat menarik itu muncul. Kejadian-kejadian pada sitkom Suami-Suami Takut Istri, OB atau Bajaj Bajuri , atau pada film Berbagi Suami, Moulan Rouge, adalah contoh sederhana yang bisa kita nikmati. Dalam ranah realis, peristiwa tragis Lady Di, Jacky Kennedy, Ahmad Dhani-Maia Estianti, atau Rhoma Irama-Inul Daratista, sampai kasus Yahya Zaini-Maria Eva, Nucky-Emi, Adib-Dewi, yakin tidak asing bagi telinga kita.

Lantas, apa akibatnya?? Jawabnya: ABSURDITAS/KEREMANGAN makna!! Sederhananya, saat kita mengalami paradoks-paradoks tadi, sebagian kita kerap kehilangan identitas, tidak mengenal diri, dan sampai mendhalimi diri sendiri. Menangis, menyendiri, stres, bengong, emosional, atau makan banyak-banyak, jalan-jalan sendiri, adalah indikator faktanya. (Hayo ngaku, siapa yang pernah gini!!?)

Persepsi ketak-jelasan identitas diri akibat paradoks membawa kita pada satu pertanyaan sederhana, yang mungkin sepele tapi berimplikasi kuat, yaitu siapa yang lantas (seharusnya/selayaknya) menguasai? Jantan? Betina? Laki-laki? Perempuan? Then, siapa pula yang (harus) menjadi (di)korban(kan)??

Review (& naskah) ini tidak menuntut jawaban absolut! It’s up to you!! Point of view-nya adalah 1) kita lantas bersinggungan dengan wacana (politik) kekuasaan, seperti gender-feminisme, yang (mungkin) kontradiktif dengan basis kodrat. (Lihat lagi kalimat/dialog Dursasana/Hasto, Yan, & Rista). Kontekstulitasnya, sebagai contoh dapat kita temukan pada bentuk-bentuk kultural/budaya & emosional psikologik perkawinan adat Jawa, Batak dan Lampung. 2) Disadari atau tidak, dinamika interaksi identitas ini sebenarnya sebuah sandiwara, atau ‘permainan’ (games), yang kita ciptakan sendiri dengan skenario yang tak-tersurat!! Sederhananya, kadang-kadang alasan mendasar atau prinsipil mengapa bisa timbul rasa suka/sayang terhadap lawan jenis tidak pernah muncul terlebih dulu, kecuali setelah interaksi dalam rentang waktu tertentu. Ironisnya, setelah selang waktu ini, justru kadang kondisi chaos yang muncul, bukan kehangatan-kedekatan yang lebih mesra-intim. Inilah permainan!! Sumpah Drupadi, apa yang dialami Hasto, adalah bentuk kejadian dalam naskah.

Agung Wijaya. Dosen Jurusan Biologi Universitas Negeri Yogyakarta. Aktor dan Penulis GMT

Tidak ada komentar: