Sabtu, 01 Maret 2008

Mimpi PBU lewat TEATER


Catatan dari Festival Panggung Merdeka, Arisan Teater SMA Magelang.


Oleh M. Ahmad Jalidu


Catatan ini adalah efek renung seteleh terlibat sebagai Juri dalam festival tersebut.


Ada yang harus kau bacakan
Ada yang harus kukabarkan
Cita-cita jalanan dan persetubuhan
Namun aku tahu dari gemetarmu
Kesenyappan inipun adalah reaksimu
Aku paham jika lelehan tangismu
Juga adalah kasih yang menyuburkan
Letakkan saja sapu tanganmu
Biar aku dekap saat kau pergi


22 Juni 2006 kemarin, di sebuah ruang serba guna MAN Kodya Magelang telah terselenggara Festival Panggung Merdeka. Teater Violet MAN Magelang terpilih sebagai tuan rumah arisan teater SMA tahun ini. Arisan yang dulu digagas Dep Dik Nas Kabupaten ini sekarang masih berjalan meski merangkak tanpa bantuan. 6 tim yang berpartisi pasi yaitu Teater Violet MAN Kodya Magelang, Teater Kasih Ibu SMA Muhammadiyah 1 Muntilan, Teater Kurusetra SMA 1 Mertoyudan, Teater Bambu Kuning SMA Candimulyo, Teater Duabelas Tiga SMA Dukun, dan Teater …. SMA 1 Salam.


Banyak hal menarik di sini, salah satunya, tidak ditemukan naskah "standar" yang biasa beredar pada festival teater lainnya. Hanya ada Sumur Tanpa Dasar yang itupun sudah digubah dengan konteks baru. 5 tim lainnya menggunakan cerita karya sendiri baik itu karya sang pembina maupun karya siswa sendiri. Bahkan ada satu tim dari teater Kasih Ibu SMA Muhammadiyah Muntilan yang tanpa naskah tertulis. Memang tidak ada yang bisa menjamin menulis naskah drama dengan kualitas standar, tetapi justru dengan membiarkan mereka menyediakan dan mengkreasi naskah sesuka mereka, maka potensi mereka tidak hanya dalam mengusung kemungkinan penjelajahan konteks, artistik, penyutradaraan, akting, dan tetek bengek lainnya namun juga kemungkinan lahirnya naskah baru, sudut pandang baru dan "bahasa" baru.


Lebih dari itu, mereka menunjukkan “energi potensial” yang luar biasa besar. Semangat mereka melebihi senior-senior mereka di kampus. Lihat saja, mereka mempersiapkan latihan dalam suasana ujian. Beberapa siswa teater itu bahkan “ketiban sial” dan harus mengalami tinggal kelas dan tidak lulus UN. Di tengah kekesalan dan putus asa mereka, mereka memusatkan tenaga pada pertunjukan. Bahkan beberapa peserta mengaku tidak mendapat restu dari kepala sekolah dan nekat meski harus “iuran” untuk mempersiapkan “uba rampe” bagi pementasan. Tak urung sang pembinapun penuh kasih seorang bapak mengawal mereka ke arena festival dan merelakan meninggalkan rapat sekolah. Memberontak? Ya, mereka memang kemudian dianggap memberontak. Namun toh mereka tak pernah bermaksud memberontak sekolah atau kepala sekolah, mereka hanya memberontak nasib dan diri mereka sendiri. Mereka menunjukkan bahwa pada wilayah tertentu, teater adalah wajah lain dari diri sendiri yang bermartabat dan tak boleh digeletakkan di sembarang tempat dan waktu. Itu hak mereka. Barangkali, mereka juga sedang teringat tokoh dalam film Drum line. Di mana sang tokoh utama mendapat “tiket gratis” ke universitas terkemuka lantaran prestasinya sebagai pemain snare drum terbaik di sekolahnya. Mereka mungkin sedang melamunkan impian, mendapat bea siswa PBU (Penjaringan Bibit Unggul) lantaran mengantongi piala aktor dan aktris terbaik, sutradara terbaik, naskah terbaik dan sebagainya.


Gambaran di atas seolah membuai kita untuk percaya bahwa mereka, para siswa SMA yang berteater itu kelak akan menyangga mahkota teater Indonesia. Dan Magelang akan terus melesat menjadi pusat penggemblengan remaja teater sebelum dikirim ke Jogja dan digodog dalam kawah teater kampus dan independen. Belum tentu.


Di tengah keindahan akan semangat mereka itu, ada beberapa hal yang patut untuk terus disempurnakan. Pertama, naskah-naskah “mede in” sendiri itu belum menampakkan dunia yang diambil dari keseharian remaja SMA. Entah kenapa? Apa karena mereka menilai teater itu harus "berat, sangar, intelek (?)" atau apa? Moga-moga tidak. Bisa jadi, ini pengaruh dari alam estetika sang pembina. Beberapa dari pembina ini adalah mereka yang mengalami remaja pada tahun 80-an dan mengalami teater pada masa menjelang sampai dengan 90-an. Takaran yang dipakai mungkin masih terpengaruh jaman itu. Teater Kurusetra umpamanya, menyuguhkan permainan yang paling kental dibanding tim lain. Dengan naskah gubahan sendiri dan tema korban kekerasan politis penguasa, serta konflik internal yang sangat berat dan dalam pada salah satu tokoh utama. Yang kadang membuat janggal adalah masih ditemuinya kata "Nyonya" untuk menyebut wanita tanpa memperdulikan status wanita yang disebut. Perempuan gila di stasiun dipanggil dengan sebutan "Nyonya" oleh tukang sapu stasiun tersebut. Sedangakn saat ini, dalam kenyataan sehari-hari, kata "nyonya" sangat jarang kita dengar. Istri Presiden pun kita panggil "Bu" atau "Ibu". Seorang direktur yang kebetulan kita temui juga akan kita panggil dengan kata "Pak", bukan "Tuan". Barangkali itu kata-kata warisan penjajah yang digunakan oleh pribumi yang sudah "minder" untuk memanggil orang kaya belanda. Tanpa memandang itu, ada alasan lain untuk tidak memakai kata itu, yaitu kenyataan sehari-hari tersebut.


Kedua, kualitas permainan, hal yang paling jelas terlihat adalah, mereka mempersiapkan dengan sangat singkat dan tampil dengan iringan grogi yang cukup jelas. Sayangnya ini juga terjadi pada penyelenggaraan festival tahun-tahun lalu. Kendala itu tidak melulu dari kemalasan dan kegamangan visi berteater mereka, namun juga minimnya support sekolah dalam hal ini. Diakui oleh hampir semua peserta, bahwa support dana sekolah sangat terbatas. Bahkan Sekolah sering tidak mengijinkan mereka mengikuti even semacam ini dengan alasan tidak ada dana. Ketika ada dana pun hanya sedikit sekali jumlahnya hingga tidak jarang, para pembina ekskul nombok dana pribadi demi menampilkan sang murid yang sudah seperti anak mereka sendiri itu ke atas panggung. (Menyedihkan! sekaligus membuat, mereka merasa "kaya" meski secara lahir miskin.


Ketiga, Citra teater masih belum mampu menjadi “tuan rumah di negeri sendiri”. Selama perhelatan itu, tidak ditemukan siswa yang bukan anggota ekskul teater selain siswa tuan rumah (MAN) dan tak ada guru yang menyaksikan kecuali sang pembina ekskul yang kebanyakan bukan guru, tetapi buruh honorer. Betapa posisi mereka sangatlah tidak terhormat di sekolah. Bisa dipastikan, teater sebagai ekskul menguntungkan karena sekolah mendapat image "peduli" minat siswa, namun sebagai produk budaya, dan gaya hidup, sekolah sama sekali tak peduli.


Keempat, Konsep arisan, dengan tuan rumah penyelenggara bergilir ini tanpa dibarengi dengan support dana dari departemen terkait, sehingga kualitas penyelenggaraan dan kesiapannya sangat fluktuatif karena kondisi keuangan tiap sekolah sangat berbeda-beda. Ditambah kenyataan bahwa sepertinya teater juga bukan prioritas belanja yang penting bagi sekolah-sekolah itu. Festival ini nyaris tanpa visi yang jelas selain merayakan ritual meruang (mencari ruang ekspresi). Festival ini semata lomba tanpa ada diskusi dan workshop untuk “menge-charge” semangat dan energi mereka.


Kelima, 6 peserta yang bergabung kemaren digawangi oleh 6 pembina yang sudah sangat saling akrab akibat seringnya mereka bertemu dalam berbagai even serupa. Sudah bertahun-tahun mereka tak di karuniai "anggota" baru. Kalaupun ada pergeseran itu hanya sekolah sekolahnya. Pak A dahulu membina teater SMA X lalu berpindah membina Teater SMA Y. Sementara teater Fajar, satu-satunya “penjaga” teater modern Magelang kelihatannya belum mampu "membakar" Magelang dengan semangat teater lebih garang lagi. Teater Fajar juga belum mampu melahirkan generasi yang akan menemani kiprah 6 pembina teater SMA yang semakin lama akan semakin jadul dan kelelahan itu.


Namun dengan persoalan tersebut, kita tetap harus kembali kepada “energi” mereka itu. Sungguh sebuah potensi yang amat sayang jika itu tak tersalurkan dengan layak. Harus ada pihak yang selalu setia menghidup acara-acara smacam itu dengan segala cerita pedihnya. Semoga masih terus ada kekuatan yang datang tak terduga. Semoga para kreator di kota-kota sekitar juga tergugah untuk saling “merangsang” dan memburu generasi. Semoga mimpi PBU lewat teater itu semakin mendekat nyata. Amin.


M. Ahmad Jalidu Pehobi Teater asal Magelang, Pimpinan Gamblank Musikal Teater.

Tidak ada komentar: