


Memeriahkan Parade Monolog dalam rangkaian Gold Institute Art Exhibition di SMK YP 17 Magelang, dua aktor GMT turun ke arena. Tidak seperti bisanya, kali ini ada sesuatu yang "ganjil". Apa keganjilan itu? Ya .. karena M. Ahmad Jalidu, yang biasanya hanya berada di barisan musik sambil memegang kendali penyutradaraan ternyata bisa juga jadi aktor.
GMT yang mendapat kesempatan untuk tampil pada hari pertama bisa dikatakan beruntung, sebab pada hari pertama juga diselenggarakan upacara pembukaan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh penting perteateran Magelang seperti Yefta (Komunitas Gandrung Seni), Budiyono (Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang) dan juga hadir Kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Olahraga Magelang.
Dua aktor GMT yang turun adalah M. AHmad Jalidu dan Muchammad Muadib. Tepat pukul 20.00 WIB. M. Ahmad Jalidu dengan sangat energik memperagakan seorang pencerita yang memaparkan kisah unik dua sahabat dari pelosok desa yang berniat ke kota untuk sekedar melihat kereta Api. Berbagai kejaidan konyol sekaligus mengharukan ditampilkan oleh Jalidu dengan cukup intens dan kerap memancing tawa renyah penonton yang di dominasi oleh mahasiswi itu. Lelakone Si lan Man, itulah cerkak karya Suparto Brata yang dibawakan oleh M. Ahmad Jalidu dengan sedikit adaptasi terutama pemadatan cerita dengan tetap memepertahankan bahasa Jawa.
Sementara 45 menit kemudian, giliran MUchammad Muadib, anggota GMT yang jauh lebih yunior dari Jalidu dipandang dari segi umur tetapi cukup bisa mengimbangi penguasaan panggungnya. MUchammad Muadib membawakan cerita berjudul Malangkring Mathingkring Malangut-langut, sebuah cerita pendek karyanya sendiri. Muadib memerankan seorang pemuda desa dari daerah Cilacap yang nekat datang ke Jogja untuk mencari pekerjaan. Setelah sempat menjadi gelandangan dan mengalami berbagai kegagalan memperolah pekerjaan, akhirnya Tajiman, sang tokoh diterima bekerja di warung sate di daerah Gejayan. Muadib juga banyak menampilkan kekonyolan dan keluguan khas orang desa pelosok. Yang lebih menghibur dari pertunjukan kedua ini adalah karena disampaikan dalam bahasa Banyumas (Ngapak). Tentu saja, publik penonotn di Magelang akan tertawa geli mendengar bahasa Banyumas yang asing bagi mereka.
"simpel, lugu, tapi malah bergizi. ini yang saya suka dari karya-karya Jalidu dan GMT-nya". Demikian komentar Yefta, aktifis Komunitas Gandrung Seni yang sering mendatangkan seniman-seniman nasional ke kota Magelang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar