: Catatan untuk 6 kali dan 1 Tahun PARADANCE.
Nia Agustina, menarikan karya berjudul "Dedes" pada PARADANCE #1, 29 Maret 2014. Foto oleh Sulistya Nucky. Dok. GMT JogjaDrama. |
Bagi beberapa orang muda pecinta seni tari di Jogja, mungkin ada
yang sudah tahu PARADANCE, dan tentu banyak juga yang belum tahu. PARADANCE
adalah sebuah acara terbuka yang menyuguhkan pertunjukan karya tari oleh
muda-mudi pecinta seni tari. Acara ini diselenggarakan setiap dua bulan sekali
oleh komunitas bernama GMT JOGJADRAMA (dahulu Gamblank Musikal Teater) di Bale Budaya
Samirono, Catur Tunggal, Depok, Sleman.
Tulisan ini, saya buat dalam rangka menandai perjalanan waktu
yang sudah mencapai 1 tahun sejak pertama kali saya dan sahabat-sahabat saya
menyelenggarakan PARADANCE. Lewat tulisan ini pula saya akan menceritakan “mula bukaning” Paradance, beberapa hal
yang menjadi tujuan dan yang melatarbelakanginya secara blak-blakan tanpa
gengsi sedikitpun.
Lebih dari satu tahun yang lalu…
Adalah Nia Agustina, teman dekat saya, perempuan
muda yang hobi menari dan mengikuti kursus di beberapa sanggar tari. Nia juga
termasuk anggota dari lingkaran komunitas Gamblank Musikal Teater (GMT), dan
turut bermain dalam drama musical Nyanyian Rimbayana pada 2011 dan
2012. Pada akhir 2013, akibat dari kebanyakan nonton pertunjukan tari dan terlalu sering
bergaul dengan guru-guru tarinya yang adalah mahasiswi ISI, Nia mengajukan usul
kepada saya, untuk memproduksi pertunjukan tari dan ia ingin menjadi
koreografernya. Tentu, sebagai ketua komunitas saya wajib mendukung. Akan
tetapi, ketika itu, Nia juga baru saja memasuki masa kuliah S2 Jurusan
Pendidikan Matematika yang bukan main banyak tugas kuliahnya. Lagipula, meski
sudah beberapa kali berpentas baik sebagai penari latar dalam drama musikal produksi GMT
maupun menari bersama sanggar tempatnya belajar, pengalamannya masih sebatas
menjadi penari atas arahan koreografer. Singkatnya, saya meragukan kemampuannya
membuat karya tari mandiri apalagi menggarap sebuah pertunjukan tari yang
berdurasi lebih dari 30 menit. Saya usulkan agar ia membuat tari pendek
berdurasi 2-5 menit dan penarinya adalah dia sendiri. Saya sanggupi untuk
menghubungi kawan yang bergerak di bidang videography untuk menyotingnya dan menjadikan sebuah video
tari yang akan diunggah di Youtube. Kepada Nia saya tambahkan kalimat impian
bahwa “di Youtube kamu akan dilihat oleh ribuan orang dari seluruh penjuru
dunia.” Dan dalam batin saya melanjutkan kalimat itu dengan “yen ana sing gelem ndelok.” Hingga
beberapa waktu, janji tidak saya tepati meski ia terus mengejar. Tentu saja
saya belum menepati karena ternyata untuk memproduksi sebuah tayangan video yang bagus
(saya anggap seperti membuat video klip musik) ternyata cukup mahal.
Ketika
itu, saya juga aktif sebagai koordinator Forum Pencipta Lagu Muda Yogyakarta
(FPLM) yang digagas dan disupport
oleh Kedai Kebun Forum. Salah satu program FPLM adalah
acara bulanan bernama FESTIVLA. Acara ini memberi kesempatan pada siapa saja
orang muda Jogja dan sekitarnya yang punya karya lagu untuk tampil memainkan
lagunya di hadapan sesama pecipta lagu lainya dan siapa saja yang bersedia
datang. Nah, muncullah ide saya untuk mengadopsi konsep acara Festivla untuk
memfasilitasi kegalauan Nia menari. Dengan
begitu tidak hanya Nia, bahkan kami bisa memberi ruang
baru untuk teman-teman lainnya yang barangkali seperti Nia, ingin sekali mencoba
berkarya tetapi kesulitan mengatur acara pertunjukannya. Segeralah saya
sampaikan hal ini kepadanya.
Dalam waktu singkat, Nia segera menghubungi
teman-teman penari yang kebanyakan adalah mahasiswi tari ISI dan UNY dan
menyampaikan kabar gembira ini… Sambil menunggu Nia mencari kawan penari yang
bersedia tampil, saya mencari nama untuk program acara ini. Sebagai penduduk Jogja, saya
tentu akrab dengan sistem pembentukan frase khas Jogja yaitu “Plesetan”, saya
mulai mereka-reka berbagai kata yang berujung pada frasa Para Penari, menjadi
Paranari, dan biar gaul, ditemukan juga dengan kata Dancer, Dance, lalu sim salabim jadilah nama PARADANCE. Jadi,
PARADANCE secara mudah bisa diartikan suatu kumpulan tarian atau penari. Lalu
Nia melanjutkan dengan membuat sebuah grup Facebook untuk wahana saling info bagi para
pecinta tari yang kami berinama grup PARADANCER. Maka, tak lama kemudian
terwujudlah parade tari kecil-kecilan, PARADANCE #1 diselenggarakan pada 29
Maret 2014. Nia yang awalnya ingin mencoba menjadi penata tari saja justru
malah berperan ganda, menjadi penyaji
karya tari merangkap menejer acara.
Ketika itu, ada 6 tarian yang ditampilkan
masing-masing oleh Mila Rosinta Totoatmodjo, Ayu Permatasari, Putri Wartawati,
Hafizha Sabilla Azka, Nia Agustina, dan duet Raras Kusuma-Shinta. Pertunjukan
digelar sederhana di pendopo Bale Budaya Samirono, dengan tata lampu hanya
menggunakan 6 buah lampu Par 64 dan saklar ceklak-ceklek byar pet (bukan dimmer
control sebagaimana tata lampu pertunjukan umumnya). Teman2 komunitas GMT yang
tinggal segelintir, dibantu oleh pengurus Bale Budaya Samirono, dan beberapa
anggota UNSTRAT UNY tanpa struktur kepanitiaan yang jelas, saling bantu menggelar
acara ini. Para penari hanya mendapat satu bungkus nasi dan minuman air putih
dalam kemasan. Tetapi, sejauh pengamatan saya, para penari menunjukkan semangat
dan senyum puas yang tak terduga.
Nah, begitulah bagaimana Paradance ini
lahir… Sangat personal, sederhana dan manusiawi serta begitu saja. Tanpa
embel-embel cita-cita ndakik-ndakik soal kebudayaan dan atau penyemaian kreativitas
pemuda di daerah istimewa. Namun, cita-cita dan klise ndakik-ndakik itu
seringkali menyusul dari mulut kami terutama ketika ada wartawan datang meliput
acara J. Mungkin karena grogi dan minder, di hadapan wartawan kami menjawab
penuh klise ini dan itu. Segala macam alasan yang
heroik dan nggombal. Padahal, bagi saya, alasan
menyelenggarakan PARADANCE adalah untuk memfasilitasi agar Nia bisa pentas
menari dan menyalurkan hobinya. So Sweet
kan??? J. Toh kami yakin, bagi teman-teman peserta PARADANCE lainnya, ada
banyak sekali alasan personal yang berbeda-beda yang melatarbelakangi keikutsertaan
mereka. Ya, bagi pecinta tari, untuk tingkatan apapun, memang selalu ada alasan
lain untuk menari. Dan saya bilang, apapun alasanya, silakan menari di sini.
Pada 29 Maret 2015 besok, akan digelar
PARADANCE #6. Sudah satu tahun sejak kami mengawali panggung kecil ini. Sampai sekarang,
belum ada hal yang heboh dan istimewa terjadi. Segalanya baik-baik saja dan
nyaman-nyaman saja. Pergaulan kami memang terbatas. Apalagi saya bukanlah
seorang penari dan tidak banyak mengenal para penari. Meski begitu, Alhamdulillah, melalui Nia (yang punya
kenalan penari lebih banyak dari saya) datang berbagai saran dan dukungan.
Banyak di antara saran-saran itu kami usahakan untuk terwujud. Tentu lebih
banyak yang belum bisa kami jalankan. Salah satunya adalah beberapa kawan
menyarankan agar PARADANCE dikhususkan untuk penari perempuan saja. Konon, di
dunia tari, laki-laki dinilai lebih mampu “struggle”
dibanding wanita, dan pada tingkat koreografer professional, dominasi laki-laki
masih sangat kentara. Penari dan
koreografer perempuan sangat perlu dukungan khusus. Hal ini juga disarankan
sebagai upaya untuk membuat positioning yang jelas bagi Paradance untuk tetap
eksis di tengah menjamurnya program-program acara pertunjukan di Jogja. Saya dan Nia segera membahasnya setiap kali ia baru bertemu
seseorang dan mendapat banyak masukan.
Sampai dengan edisi ke-6 dan insyaAllah
seterusnya, PARADANCE akan tetap terbuka untuk segala jenis kelamin. Bukan kami tidak setuju
dengan upaya mendukung seniwati tari. Tetapi bagi kami, justru dengan tidak
mengkhususkannya, kami menganggap perempuan punya daya cipta yang setara dengan
para penari pria. Jadi biarlah di acara ini, seniwati tari berdiri sama
kerennya dengan para seniman tari. Mereka meraih kesempatan berekspresi, dan
mendapat apresiasi bukan karena mereka perempuan, tetapi karena mereka manusia
yang berkarya… (*cieeeee… kalimatkuuuhh… J) Jebul jumlah penari perempuan memang sudah
mendominasi. Mungkin karena Jurusan tari ISI dan Jurusan Pendidikan Tari UNY lebih
banyak mahasiswinya, dan sanggar-sanggar tari juga lebih banyak murid-murid
perempuan. Dan jebulnya lagi, dari
PARADANCE seri #1 hingga #6 yang akan datang, juga sudah didominasi oleh
perempuan. Namun saya selalu meminta Nia untuk mencari setidaknya 1 penampil
dari golongan pria di setiap edisi Paradance. Lebih juga boleh.
Selain bebas jenis kelamin, PARADANCE juga
bebas usia dan latar pendidikan. Jikapun kami pernah beberapa kali menyebutkan
sebagai “ajang karya penari muda”, memang itu sasaran utama. Tetapi tidak lantas
kami menutup dari yang tidak muda. Pada Paradance #4 kalau tidak salah, ada
penari anak-anak. Lho kok bisa? Ya, Dia adalah murid dari Scholastica W
Pribadi, Scholastica W Pribadi adalah anak muda J. Pada
Paradance #7 nanti, insyaAllah ada rombongan tari anak-anak dari Borobudur.
Mereka adalah murid-murid dari mas Eko Sunyoto. Paradance juga terbuka bagi
siapapun dari latar pendidikan non seni dan lintas jenis tarian. Boleh tradisi,
boleh kreasi baru, apalagi kontemporer. Boleh tarian nusantara, boleh latin,
ballet dan afro. Segala jenis seni berbasis gerak tubuh dibolehkan. Pada #1,
ada Raras dan Shinta yang menarikan sebuah tari tradisi kerakyatan bergaya
mbanyumasan, pada #4 ada tari latin dan #5 ada karya pantomime. Pokmen bebas tapi sopan.
Begitulah. PARADANCE sementara ini kami
biarkan sebagai event tanpa positioning
yang jelas. Satu-satunya positioning
nya adalah ini sebuah acara pertunjukan tari (seni gerak tubuh), kalau bisa
didominasi kaum muda, tetapi boleh pula remaja anak dan penari berumur. Bahkan,
jika ada penari senior professional yang bersedia tampilpun, “kami welkam-welkam aja…”. Soal
diferensiasinya bagaimana? Ya satu-satunya diferensiasi PARADANCE adalah tanpa
Diferensiasi. Kelak, jika Tuhan merestui dan terlalu banyak seniman seniwati
tari yang berminat tampil, mungkin saat itulah akan ada kebijakan baru yang
membatasi. Sekarang ini, selagi belum ada alasan untuk membuat batas, maka kami
tidak memberi batas bagi karya yang tampil. Meski demikian, secara teknis jelas
sudah ada batas yang berasal dari kondisi alam. Misalnya, karena lokasi terbuka
di tengah perkampungan, maka kami minta penari memakai kostum yang tidak
terlalu vulgar dan tidak menyuguhkan tari erotis (sexy dance) dan batasan
kondisi panggung yang sempit dan sederhana serta fasilitas yang minim.
PARADANCE sampai saat ini belum kami
rencanakan untuk diajukan ke Dana Istimewa. Ini semata karena kemalasan kami
mengurus ini dan itu. Kebutuhan teknis penari ditanggung oleh mereka sendiri.
Sementara kami sebagai produser acara menanggung konsumsi dan sewa
perlengkapan. Sedang teknis pendukung seperti dokumentasi berasal dari para
relawan yang membantu. Di gambar publikasi PARADANCE #6 terpampang logo
Penerbit Garudhawaca dan Gardabuku.com sebagai sponsor. Dua unit usaha kecil2an
itu adalah usaha milik saya pribadi. Saya tampilkan di situ sebagai upaya untuk
mengimbangi pengeluaran saja. InsyaAllah jika ada pihak lain yang bersedia
membantu acara ini, boleh-boleh saja meminta logo usahanya dicantumkan di
publikasi.
Akhirnya, saya berterima kasih kepada semua
kawan yang pernah dan masih dan
(semoga) terus membantu terselenggaranya PARADANCE,
terutama untuk sahabat-sahabat di komunitas Bale Budaya Samirono dan UNSTRAT.
Juga saya haturkan salam dan doa sukses untuk para penari yang pernah tampil,
dan para penyuka pertunjukan yang pernah dan akan hadir menonton. Salam hormat
saya…
Ahmad Jalidu.
Ketua GMT JOGJADRAMA.
Produser PARADANCE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar