Hafida Kholifatul Jannah, membawakan karya "Moksa" di PARADANCE #6. Foto oleh Ari Kusuma. |
Meski kecil dan sederhana, panggung PARADANCE telah berjalan
hingga 6 kali. Tidak dengan susah payah, tetapi dengan ceria dan apa adanya.
Semuanya dilakukan dan dilakoni dengan kesadaran penuh atas kemampuan dan
kemauan. Dari edisi awal yang rata-rata menampilkan 5 atau 6 nomor karya, kini
sudah menjadi 8 karya pada edisi 5 dan juga edisi 6. Kami bisa mengatakan bahwa
kami sementara ini termasuk berhasil, sebab dari semula memang acara ini
digagas dan digulirkan sebagai ruang unjuk karya, bukan sebagai sebuah produk
tontonan yang melulu diukur dari seberapa banyak dan histerisnya penonton.
Karenanya, pada edisi 6 ini saya tiba-tiba memikirkan para penampil.
Tidak semua, tetapi hampir semua, para penampil adalah
mahasiswa dan alumni Jurusan Seni Tari ISI Yogyakarta dan Jurusan Pendidikan
Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta. Mereka semua mendapat bekal
ketrampilan gerak tari. Puluhan atau ratusan ragam gerak tradisional yang
diajarkan kampus, juga berbagai kosa gerak kontemporer hasil pengamatan dan pengalaman
mereka di banyak panggung. Dengan kekayaan kosa gerak tersebut, mereka semua
bisa dengan mudah memilah dan merangkai gerak-gerak untuk disinkronkan dengan
tema dan musik yang mereka tentukan sendiri. Dengan potensi kekayaan itu pula,
tampaknya membuat sebuah koreografi tari, apalagi yang ditarikan oleh diri
mereka sendiri terasa sangat mudah.
Di setiap edisi PARADANCE, MC selalu akan mengajak
penari/koreografernya berbincang sebentar usai mereka beraksi, sembari menanti
persiapan penampil berikutnya. Dan MC seringkali mengajukan pertanyaan, “Prosesnya
berapa lama?” atau “persiapannya berapa lama?” atau “latihan berapa lama?”.
Pertanyaan ini seringkali dijawab dengan senyum ceria oleh para penari.
Jawabanya tentu bervariasi, namun saya terusik bahwa ternaya ada yang waktu
persiapannya sangat pendek. Ada yang 2 minggu, ada yang 5 hari, bahkan ada yang
menjawab “baru tadi malam latian”…
Mendengar jawaban itu, biasanya MC akan berkomentar “wowwww?”
atau semacamnya yang menunjukkan pujian (entah tulus atau tidak) dan tak jarang
ditambah dengan mengajak penonton bertepuk tangan. Jawaban itu mungkin akan
menunjukkan kesan “betapa kreatifnya” para penari ini. Mampu membuat sebuah
rangkaian tarian yang unik dan indah hanya dalam semalam atau beberapa hari.
Tentu saja, sebagai penari atau koreografer, kreatif bukan pilihan, tetapi
kewajiban. Mereka mau tidak mau harus mau kreatif. Dan bagi PARADANCE, tentu
sebuah kehormatan karena di acara inilah beberapa penari mempertunjukkan satu
nomor karyanya untuk pertama kalinya. Ibarat sebuah karya film, di acara
PARADANCElah mereka menggelar premier-nya.
Kami, dan semua penonton sangat beruntung.
Akan tetapi, sering saya berpikir bagaimana jika sebuah
karya, meski hanya sepanjang 4 atau 5 menit, dipersiapkan dalam waktu yang cukup
lama, tentu hasilnya akan lebih matang. Lha wong yang semalam saja bagus kok.
Kalo persiapan lebih lama, mungkin secara teknis akan lebih lancar dan tepat,
dan segala hal non teknis seperti kesesuaian seluruh unsur gerak dengan judul
dan tema akan bisa lebih maksimal kesatuannya. Saya membayangkan, akan ada para
penyaji tari di PARADANCE yang menarikan sebuah karya yang sudah berulang kali
ia tampilkan di panggung-panggung lain. Sebuah karya pendek yang indah dan
matang. Tentu sah-sah saja. Sebagaimana grup musik juga akan membuat sebuah
karya musik yang kemudian dimainkan terus menerus di berbagai kesempatan.
Kreativitas tetap bisa ditunjukkan dengan aransemen baru. Ini sudah ditunjukkan
oleh beberapa PARADANCER yang pernah tampil membawakan karya yang sama dengan
yang mereka pertunjukkan dalam ujian praktik di kampusnya.
Pendeknya, tulisan saya ini hanya menyampaikan, bahwa
sebagai penyelenggara, dan sekaligus penonton setia Paradance, saya sama sekali
tidak akan kecewa apabila kelak ada penari yang menyajikan karya “basi”nya. Dan
tentu saja, sangat terbuka bagi mereka yang pernah tampil di Paradance, kembali
tampil di edisi mendatang, dengan karya yang sama yang di”aransemen ulang”.
Semoga semua setuju, bahwa kreativitas tidak harus menciptakan sesuatu yang
sepenuhnya baru, tetapi bisa juga dalam bentuk memoles yang lama menjadi lebih
bagus. Pastinya bukan masalah baru atau basinya, tetapi lebih kepada matang
atau mentahnya. Jika sebuah karya sudah lebih matang, tentu kita melakoninya
dengan lebih mantap, lebih nikmat dan akan lebih monumental bagi diri kita
sendiri dan penonton yang menjadi saksi.
Apa yang saya bicarakan itu adalah jika sebuah karya memang diniatkan sebagai karya tari yang "well made" atau dicipta dan ditata sedemikian rupa secara fixed and final. Lain halnya apabila ada yang mempertunjukan seni gerak dengan konsep "performance art" yang sering kali mengandalkan pola "here and now" dan mempertunjukkan spontanitas dan respon kondisi lingkungan. Mungkin begitu.
Apa yang saya bicarakan itu adalah jika sebuah karya memang diniatkan sebagai karya tari yang "well made" atau dicipta dan ditata sedemikian rupa secara fixed and final. Lain halnya apabila ada yang mempertunjukan seni gerak dengan konsep "performance art" yang sering kali mengandalkan pola "here and now" dan mempertunjukkan spontanitas dan respon kondisi lingkungan. Mungkin begitu.
Selamat terus berkarya.
Ahmad Jalidu,
Penulis Naskah dan Sutradara.
Direktur GMT JOGJADRAMA
Produser PARADANCE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar