Sabtu, 01 Maret 2008

Idealis vs Kompromis: Teater Kampus Not Death!


(Artikel ini telah dimuat di Harian Kedaulatan rakyat 4 desember 2005)


LEBIH sepuluh tahun lalu, grup teater Yogya tersebar di tiap kecamatan, namun kini “punah” satu persatu. Hanya beberapa grup saja yang masih “bergigi”. Sementara di kampus mungkin ada seratus lebih grup teater. Hampir semua perguruan tinggi, sampai tingkat fakultaspun memiliki grup teater. Merekalah harapan terakhir teater Yogya. Sayangnya, geliat mereka tak sebanyak dan se-’wah’ jumlahnya. Meski teater adalah tempat di mana dinamika mahasiswa yang aktif dan kritis terfasilitasi, tetap saja mereka terus merosot dan tinggal papan namanya saja. Ada apa gerangan? Apakah ini imbas dari model pendidikan instan? Atau karena masalah dana?


Demikian pertanyaan yang diajukan Isti Dharmaranti S, KR Minggu, 20 November lalu dengan judul Teater Kampus, Harapan Terakhir Teater Yogya? Tulisan berikut ini bermaksud menanggapinya serta turut menambah semangat kawan-kawan penggerak teater kampus Yogya. Sampai sekarang, tidak ada data akurat tentang jumlah kelompok dan pementasannya per tahun. Tahun 2004 lalu, Forum Komunikasi Teater Jogja (FKTJ) pernah mendata ada lebih dari 80 kelompok teater kampus, dan itupun belum angka final — Forum itu terjerat masalah internal sebelum data diselesaikan dengan rapi. Kita bisa membayangkan berapa jumlah pementasan dengan data tersebut. Faktanya, rata-rata mereka memproduksi 1 atau 2 kali pementasan pertahun. Frekuensi ini lebih dipengaruhi oleh sistem perkuliahan yang dibagi ke dalam 2 semester dengan diselingi liburan semester. Biasanya, produksi dimulai pada awal semester dan mementaskannya di akhir semester. Menariknya, frekuensi pementasan ini hampir sama di setiap kampus, meskipun mereka menerima subsidi dana yang sangat bervariasi. Sebagai contoh, Teater Lilin UAJY bisa mendapatkan Rp 15 juta pertahun. Teater Eska UIN Suka dengan Rp 2,5 juta pertahun. Kelompok Sekrup FMIPA UNY dengan Rp 2,6 juta. UNSTRAT UNY bisa mencairkan lebih dariRp 20 juta setahun. Juga, Teater Parkir Fakultas Psikologi UII yang hanya Rp 100 ribu setahun dan harus membanting otak setiap kali melakukan pementasan namun mampu berpentas 2 kali setahun. Itu berarti dana bukan masalah bagi “kehidupan” teater kampus.


Beberapa bulan terakhir (Juli-Oktober), aneka peristiwa bisa menunjukkan dinamika yang masih cukup baik. Teater Gajah Mada UGM menjadi tuan rumah FESTAMASIO (Festival Teater Mahasiswa Nasional Indonesia) sekaligus mementaskan Kethoprak Lesung Jaran Sungsang. UNSTRAT mementaskan Leng di TBY dan Solo. Teater Tangga UMY mementaskan Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Masih ditambah beberapa kegiatan teater kampus yang memang hanya diselenggarakan di kampus masing-masing. Teater Loby Dua STPMD “APMD”, Teater Eska UIN Suka, Teater Manggar AMIKOM, Teater Seribu Djendela USD, Teater Senthir UNWAMA, Teater Lilin UAJY dan Kelompok Sekrup FMIPA UNY adalah contoh yang tidak bisa dikatakan “tertidur”. Mereka masih bernafas dan menggeliat.


Paparan di atas coba menyampaikan, teater kampus masih “bersuara”, walaupun tidak semuanya “gegap gempita”. Tidak semua memasang poster dan spanduk mewah, apalagi mampu membayar gedung TBY. Sementara media cetak? Jangankan menginformasikan akan ada pementasan, sudah datang meliputpun belum tentu memuat beritanya. Jadi, tidak bisa dinyatakan mereka tidur atau pingsan hanya karena kita tak tahu kabarnya. Jangan khawatir, teater kampus masih akan tetap hidup, Teater kampus Not Death! Meski begitu, tetap harus diakui kelesuan itu ada. Bukan dari jumlah pementasan yang dihasilkan. Kelesuan itu adalah menurunnya greget para awak teater dan masyarakat penontonnya. Anggota yang “mretheli” satu-persatu beberapa saat setelah pelantikan sangat biasa terjadi. Seolah tidak bangga berteater. Bagaimana mungkin membanggakan jika setiap kali pentas teman-teman yang menyaksikan mengadukan kelelahan mereka karena “jenuh” atau “nggak mudheng” dengan apa yang disuguhkan? Teater kampus semakin miskin penggemar, anggotanya tak betah bertahan lama. Mereka menjadi “alien” di tengah kerumunan mahasiswa “gaul” yang heboh pergi ke Mataram, menonton band di lembah UGM, dan pergi ke “dugem” atau Game Centre hingga dini hari. Jangan-jangan ada yang salah dengan teater? Setidaknya ada yang salah dengan cara pandang terhadap teater. Jangan-jangan (teater kampus) masih terbawa bayang-bayang kejayaan masa “Musim Semi Teater Indonesia” 20-30 tahun yang lalu. Sampai-sampai masih menimbang teater dengan neraca bertahun 1980an. Tahun di mana tak banyak televisi, belum ada MTV, belum ada VCD, belum ada chatting, dan web cam, juga film ‘Ada Apa dengan Cinta (AADC)’.


Nampaknya perlu disadarkan kembali. Bukankah teater adalah alat komunikasi? Media pencerahan yang bukan hanya bagi penonton, tetapi juga pelakunya. Bukankah teater seharusnya sudah cukup jika ia bisa berdiri secara demokratis? yakni dengan tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat di mana ia berada. Bukan teater yang sok mendahului dan menggurui penontonnya. Tetapi yang tegak di atas panggung bermodal refleksi atas fakta di lingkungan tempat pelaku dan penikmat mengukir hari-harinya. Dalam film atau lagu berbahasa Inggris sering kita jumpai kata-kata berikut: “Time’s Rollin’, Live goes on, and people change.” Teater juga harus rollin’, goes on dan change sesuai dengan perubahan dan pergeseran masyarakat serta jamannya. Sebab teater itu hadir untuk masyarakat.


Teater kampus hendaknya meniatkan diri untuk hadir demi masyarakat kampusnya atau masyarakat mahasiswa secara umum, bukan demi kepuasan para empu pendahulunya. Dharma ke tiga dari Tridharma Perguruan Tinggi pun berbunyi “Pengabdian Kepada Masyarakat”, bukan pengabdian kepada para pelopor dan para ahli. Semoga masih ada hasrat teater kampus untuk terus bergerak, berproses sebagai “komunikasi” kepada penonton masing-masing. Tidak untuk menggurui tetapi sama-sama belajar. Idealisme itu penting tapi “compromise” juga perlu mematangkannya. Kenali kepada siapa kita akan berbicara, gunakan bahasa mereka (dan itu telah dilakukan saudara kita dari kalangan film). Mungkin dengan kesadaran ini, kita bisa menemukan bentuk baru teater yang lebih komunikatif dan bahkan sampai menemukan “musim semi” kembali.


Dunia teater mutakhir sedang disibukkan dengan agenda “mencari bahasa ungkap baru”. Itu artinya bahasa ungkap baru itu belum ditemukan. Teater kampus punya hak untuk sama-sama mencari di sela-sela kehidupan masyarakatnya. Ini akan menumbuhkan aneka “ragam” teater yang penuh “greget” dan suitable bagi masyarakat penonton masing-masing. Melengkapi semangat kethoprak lesung TGM, sandiwara musikal Sekrup, realisme sosial Loby Dua, juga drama absurdnya Eska. Sekali lagi, “Teater kampus Not Death!”. q-c *)


Maulana Ahmad Jalidu, Pimpinan Gamblankmusikal Teater (GMT), alumni dan groupies di Kelompok SEKRUP FMIPA UNY.

2 komentar:

narni mengatakan...

Didik Jalidu, mshkah spt yg ku kenal dulu? tp kmu mmg TOP BGT, salut deh sama perjuanganmu.. Sekrup bermetamorfosis jadi GMT?
Boleh donk nitip salam buat maman, elfa, dst..gimana kabarnya? Mrs Trimbil jadi kangen..

dewa ikan mengatakan...

salut dan bangga kuucapkan pada mas jalidu yang selalu setia untuk memajukan dan mengharubirukan ranah perteateran di yogyakarta...
semoga teater tetap jaya